Tau Enggak Sih?, Perbedaan Hari Raya Idul Fitri Telah Terjadi Sejak Abad ke 19

Ilustrasi lebaran, idul fitri(SHUTTERSTOCK/Nature Style)
Ilustrasi lebaran, Idul Fitri(SHUTTERSTOCK/Nature Style)

Permasalahan perbedaan pendapat tentang kapan waktu yang tepat untuk menjalankan sholat Idul Fitri atau Hari Raya Idul Fitri, bukan permasalahan yang hanya terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Ternyata pada masa lampau, perdebatan dan perselisihan tentang kapan seharusnya Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan, juga pernah terjadi pada masa pemerintahan Kesultanan Bima yaitu Sultan Ibrahim tahun 1895 masehi.

Dilansir dari catatan A.J. Asselbergs tahun 1895 yang dimuat dalam Berichtn uit Nederlandsch Oost-Indië (1896), bahwa pada buan Maret 1895, terjadi perselisihan antara orang-orang Arab yang tinggal di Bima dengan Sultan Bima. Jika berdasarkan tahun peristiwa, maka peristiwa perselisihan ini terjadi pada masa kekuasaan Sultan Ibrahim. Menurut Asselbergs, perselisihan itu terkait kapan seharusnya Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan. Berdasarkan keputusan Sutan Bima, Hari Raya Idul Fitri telah ditetapkan jatuh pada hari Kamis tanggal 28 Maret 1895. Sementara berdasarkan hasil perhitungan orang-orang Arab yang ada di Bima, pada hari Kamis tersebut masih ada sisa puasa yang harus dijalankan, sehingga Hari Raya Idul Fitri harus jatuh pada esok harinya yaitu hari Jum’at tanggal 29 Maret 1895.

“Jika Sultan menetapkan Hari raya pada hari kamis, berarti Sultan telah mempersingkat pelaksanaan puasa dari yang seharusnya dan ini sangat bertentangan dengan perintah Allah SWT dan Rasulnya. Jika sultan masih bersikukuh dengan keputusan tersebut, maka tunggulah murka Allah pada sultan dan orang-orang yang mendukung keputusan tersebut,” ancam orang-orang Arab.

Mendengar ancaman tersebut, segera seluruh perangkat kesultanan menggelar rapat untuk membahas ulang penetapan waktu Hari Raya Idul Fitri. Namun Sultan Bima bersikukuh dengan keputusannya bahwa Hari Raya Idul Fitri harus tetap jatuh pada hari Kamis tangga 28 Maret 1895. Alasannya, jika Hari Raya jatuh pada hari Jum’at, maka tidaklah pantas jika harus menodai hari Jum’at yang dikenal sebagai hari suci atau hari untuk berdo’a kepada Allah itu dengan perayaan-perayaan hari raya yang bersifat lahiriah.

Setelah masing-masing pihak saling mempertahankan argmentasi mereka, diputuskanlah sebuah keputusan yang tidak merubah keputusan sultan demi menjaga marwah sultan, namun tetap mengakomodir keinginan orang-orang Arab yang menginginkan 1 syawal jatuh pada hari Jum’at. Akhirnya Hari raya Idul Fitri diselenggarakan selama 2 hari yaitu hari Kamis dan hari Jum’at. Hari Kamis tanggal 28 Maret untuk prosesi pesta penyambutan Hari Raya Idul Fitri sesuai dengan keputusan sultan sebelumnya, sementara hari Jum’at tanggal 29 Maret akan menjadi 1 Syawal untuk pelaksanaan Sholat Idul Fitri sebagaimana keinginan orang-orang Arab.


Penulis : Ihsan Iskandar

Bagikan:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *