Penahanan ‘Badai NTB’ Dinilai Berlebihan, Pemerhati Hukum Soroti Langkah Penyidik

Halo Bima – Penahanan terhadap Uswatun Hasanah alias Badai NTB, aktivis yang dikenal vokal dalam gerakan anti narkotika di Bima, menuai sorotan dari sejumlah pihak, termasuk pemerhati hukum. Pasalnya, Badai disangkakan dengan Pasal 351 KUHP Ayat 1, yang ancaman hukumannya maksimal hanya 2 tahun 8 bulan.

Padahal, dalam ketentuan hukum acara pidana, penahanan umumnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun.

Seorang akademisi dan pemerhati hukum, Imam Edy Ashari, MH, menilai, penahanan Badai NTB merupakan bentuk tindakan yang terlalu jauh dan berpotensi melanggar prinsip keadilan.

“Penahanan adalah hak subjektif penyidik, memang benar. Tapi ada batasannya. Jika ancaman pidananya di bawah 5 tahun, mestinya tidak dilakukan penahanan, kecuali dalam kondisi khusus,” ujarnya, Jumat (18/04/2025)

Ia menjelaskan, Pasal 351 Ayat 1 KUHP memang tergolong kasus pengecualian, karena penyidik dapat melakukan penahanan dengan alasan subjektif seperti risiko melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan terhadap korban. Namun, menurutnya, penyidik perlu berhati-hati dan objektif dalam menerapkan pertimbangan tersebut.

“Teman-teman bisa menilai sendiri, secara kepribadian, apakah Badai NTB termasuk orang yang layak ditahan atas dasar risiko-risiko itu?” tambahnya.

Lebih lanjut, mahasiswa doktoral Universitas Brawijaya itu menyampaikan bahwa dirinya menolak seseorang dihukum sebelum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Penahanan terhadap tersangka, menurutnya, secara substansi adalah bentuk penghukuman, padahal hanya pengadilan yang berwenang menjatuhkan hukuman.

Ia juga mengingatkan bahwa kasus yang disangkakan kepada Badai semestinya diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice (RJ), sesuai arahan Kapolri dalam Perkap No. 8 Tahun 2021.

“Hampir semua kasus Pasal 351 Ayat 1 berakhir dengan perdamaian. Kalau sampai seseorang ditahan 20 hari lebih dan akhirnya berdamai, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya kebebasan orang itu selama masa penahanan?” tegasnya.

Baca Juga :  Diskursus Hukum dan Perspektif Masyarakat Awam terhadap Penahanan Badai NTB

 

Tes Urine Dinilai Tidak Relevan

Sorotan lain juga datang terkait permintaan tes urine terhadap Badai. Ia menilai langkah itu tidak relevan dengan konteks perkara.

“Ini tindakan yang berlebihan. Terlihat ada upaya membangun kecurigaan terhadap seseorang yang justru dikenal aktif dalam pemberantasan narkoba. Kenapa tidak fokus pada upaya damai saja?” tuturnya.

Di akhir pernyataannya, ia menegaskan bahwa meski tidak setuju dengan cara-cara Badai NTB dalam memberantas narkoba, namun ia jauh lebih tidak setuju jika hukum dijadikan alat untuk menindas.

“Saya tidak setuju dengan caranya. Tapi saya lebih tidak suka jika hukum dipakai untuk menekan seseorang yang sedang bersuara,” pungkasnya.

Diketahui, Badai NTB saat telah ditahan di Polsek Rasanae Barat Polres Bima Kota atas kasus penganiayaan.

Bagikan:
Scroll to Top