Diskursus Hukum dan Perspektif Masyarakat Awam terhadap Penahanan ‘Badai NTB’
Penulis : Safran, SH.,MH (Praktisi Hukum dan Pengacara di Sambo Law Firm)
Apa yang dilakukan oleh kuasa hukum tersangka Uswatun Hasanah alias Badai NTB, sejauh yang saya amati dan pahami, sudah sangat luar biasa dalam mendampingi setiap proses hukum yang dilalui oleh kliennya. Upaya tersebut bertujuan memastikan hak-hak hukum kliennya terpenuhi sesuai dengan ketentuan KUHAP. Perdebatan mengenai penahanan yang dilakukan oleh Polres Kota Bima terhadap tersangka adalah hal yang biasa dan lumrah.
Tentu saja, terdapat perbedaan perspektif antara kuasa hukum, pemerhati hukum, akademisi hukum, dan masyarakat awam dalam memahami syarat dan ketentuan penahanan terhadap tersangka yang telah diatur secara limitatif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tepatnya dalam Pasal 21 ayat (1) sampai (5), serta dalam ketentuan Perkapolri Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 85, dijelaskan bahwa penahanan terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka didasarkan pada dua alasan (syarat):
1. Alasan Subjektif
Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1):
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.”
2. Alasan Objektif
Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana, percobaan, atau turut serta dalam tindak pidana tersebut, apabila:
- Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 KUHP.
Apa yang dilakukan oleh Polres Kota Bima, dalam hal ini penyidik yang menangani laporan dugaan tindak pidana penganiayaan, masuk dalam kategori alasan subjektif. Bagi praktisi, pemerhati hukum, dan akademisi, hal seperti itu bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan, karena prinsipnya, sesuatu yang sudah jelas dan terang tidak perlu diperdebatkan.
Tafsiran masyarakat awam mengenai kewenangan dan hak penyidik dalam menahan tersangka yang cenderung dianggap bermuatan politik adalah sah-sah saja. Namun demikian, tindakan penyidik tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, selama tindakan tersebut tidak dinyatakan melawan hukum oleh undang-undang atau peraturan turunannya.
Perbedaan perlakuan dalam proses penegakan hukum, berdasarkan pengalaman saya sebagai praktisi, sangat bergantung pada sejauh mana suatu kasus menjadi atensi publik dan kelompok tertentu. Selain itu, simbol dan tanda memainkan peran penting dalam mempercepat atau memperlambat proses hukum, termasuk soal access to justice oleh tersangka dan kuasa hukumnya.
Penting juga dipahami bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia yang menjadi rujukan dalam prosedur penegakan hukum substantif, dalam teori dan praktiknya, menganut sistem campuran (mixed system), yaitu:
- Crime Control Model: model pengendalian kejahatan dengan fokus pada efisiensi sistem, yang bertujuan menekan dan mengendalikan kejahatan demi menjamin keamanan masyarakat dan ketertiban umum. Dalam model ini, pengendalian kejahatan dianggap lebih penting daripada kebebasan individu. Model ini berasaskan presumption of guilty.
- Due Process Model: mengutamakan perlindungan terhadap individu dari potensi kesewenang-wenangan aparat negara (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Dalam model ini berlaku asas presumption of innocence.
Satu hal menarik yang perlu dicermati dan dianalisis secara kritis dan komprehensif adalah tindakan penyidik Polres Kota Bima yang melakukan tes urine terhadap tersangka tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Padahal, tes urine umumnya dilakukan terhadap terduga atau tersangka tindak pidana narkotika. Dalam hukum pembuktian, tes urine digunakan sebagai alat bukti (Pasal 184 KUHAP) untuk menerangkan apakah seseorang menggunakan narkotika secara aktif.
Kecuali jika tindak pidana penganiayaan tersebut memiliki keterkaitan dengan tindak pidana narkotika, maka mungkin tindakan tersebut bisa dipahami secara logis dan diterima sebagai bentuk legal reasoning oleh penyidik. Namun dalam kasus ini, tidak ada indikasi yang relevan, sehingga tindakan tersebut terkesan dipaksakan.
Dari perspektif saya, tindakan Polres Kota Bima dalam melakukan tes urine terhadap tersangka telah melampaui norma, prosedur, dan mekanisme hukum yang berlaku. Selain tidak relevan, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Penegakan hukum modern harus berlandaskan pada dua prinsip utama: protection of the law dan equal justice under the law. Jika dua prinsip ini diabaikan, maka yang akan terjadi adalah praktik peradilan jalanan (street justice).