Maraknya Pelecahan Seksual pada Anak di Bawah Umur: Siapa yang Patut Disalahkan?

Kekerasan seksual dikategorikan sebagai perilaku yang menyimpang dan berbahaya bagi perkembangan anak. Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan perilaku yang disengaja untuk memuaskan hasrat seksual dan dapat menyebabkan kerugian ataupun bahaya yang mendalam bagi anak, baik secara fisik maupun psikis.

Bentuk kekerasan seksual terhadap anak diklasifikasikan sebagai kekerasan fisik, psikologi sosial, tindakan Kekerasan seksual tidak terbatas pada hubungan seks saja melainkan mengarah kepada tindakan seperti menyentuh bagian intim perempuan, menampilkan gambar atau video yang mengandung unsur intim, maupun tindakan lainnya yang mengarah pada ranah seksualitas.

Kekerasan seksual yang sering terjadi di kalangan masyarakat terutama yang dialami oleh anak di bawah umur seringkali diikuti dengan ancaman dari pelaku dan korban (anak) tidak bisa berkutik sehingga selalu mengikuti kemauan dari pelaku. Hal ini terjadi berulang kali  dan saya yakin amat begitu banyak yang belum diekspos.

Penyintas yang menjadi korban seksual cenderung berada dalam kuasa pelaku pelecehan. Korban cenderung lebih memilih diam terhadap apa yang dia alami sehingga akhirnya berdampak pada gangguan psikologis dan menghambat proses perkembangan sosial maupun spiritual.

Perilaku pelecahan seksual pada anak akhir-akhir ini membuat kita terpukul melihat fenomena kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Nusa Tengara Barat (NTB).

Berbagai macam berita yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual tidak asing lagi terlihat di beberapa media massa yang ada di NTB. Kekerasan seksual pada anak di bawah umur tidak boleh dibiarkan berlarut-larut sebab hal ini tidak sejalan dengan moral sosial maupun hukum serta melukai proses kembang anak; generasi penerus kita dan pemimpin bagi masyarakatnya di masa depan. Trauma akan terus diingatnya jika tidak ditangani dan lakukan upaya pendidikan preventif dari awal dari semua pihak. Terlebih khusus, atensi pemerintah mesti terus menggalakkan dan memberi dukungan kepada tiap anak yang menjadi korban maupun anak-anak yang belum menjadi korban.

Bagaimana tidak? dunia anak-anak yang seharusnya dipenuhi dengan keceriaan, kegembiraan, pembinaan, dan penanaman moral kebaikan harus dirampas oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab demi memenuhi hasrat seksualnya.

Hal ini bukan lagi masalah yang dipandang biasa yang terjadi di sekitar kita. Akan tetapi, ini merupakan masalah yang sangat besar dan harus diberantas dari atas hingga ke bawah; menuju akar-akarnya sehingga tidak terjadi masalah atau dampak yang dapat menyebabkan gangguan mental pada anak dan secara tidak langsung mengganjal proses perkembangan anak yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa.

Pandemi dan kegiatan di rumah saja saat ini berpotensi seluruh kegiatan akan berada di daerah privat dan memungkinkan relasi semakin begitu dekat dan tertutup. Ini yang harus kita sadari bersama, terlepas siapapun kita dan apapun gelar dan jabatan yang dipegang hingga saat ini, maka sadarilah bahwa pelaku bisa dari siapa saja dan mengintai bahkan kepada orang-orang terdekat di sekitar.

Baca Juga :  Setelah Rontu,Syamsurih Gelar Vaksinasi Berhadiah di Nungga

Berdasarkan hasil asesmen yang pernah dilakukan Lembaga Perlindunhan Anak (LPA) Kota Bima, perkara demikian terjadi akibat lemahnya pengawasan orang tua. Apalagi di masa pandemi covid-19, yang mana anak lebih menghabiskan waktu mereka menggunakan gawai karena diharuskan untuk kuliah, pesan makanan dan kebutuhan secara daring, dengan hampir semua dikerjakan dari rumah.

Akibat pandemi covid-19 ini dan fakta demikian, dan kurangnya pengawasan dari orang tua menyebabkan anak cenderung tidak terkontrol dalam memanfaatkan penggunaan gawai, sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, banyak kasus dalam penggunaan sosial media, korban atau pelaku mudah berkomunikasi satu sama lain, sehingga saat bertemu di suatu tempat tidak sedikit kasus yang berujung aksi penganiayaan hingga pemerkosaan.

Faktor lain yang mendukung terjadinya kekerasan seksual terhadap anak khususnya yang sering terjadi di Bima adalah karena minimnya edukasi tentang seks, sehingga karena kurang bahkan absennya tentang pengetahuan yang cukup dari dampak yang ditimbulkan dari hubungan seks yang bertanggung jawab, pengawasan, dan atau bahkan sebaliknya disebabkan oleh pengekangan yang terlampau kuat yang dialami anak oleh pola asuh orang tua menjadi alasan anak beraktivitas sembunyi dan takut melaporkan hal-hal kesehariannya pada orang yang mesti bisa dipercaya.

Terhitung mulai Januari sampai April 2021 saja sudah terjadi lebih kurang 30 kasus kekerasan seksual, di antaranya merupakan kasus pencabulan hingga pemerkosaan terhadap anak usia dini. Pelaku kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih banyak belum diadili dan ditindak secara hukum dan ditetapkan status hukum bagi para pelakunya. Seakan terkesan hanya kasus-kasus besar yang mendapat atensi.

Pemerintah sudah saatnya harus sigap dan intens untuk dapat melihat dan serius membaca kondisi tersebut. Menyikapi permasalahan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bima dan Dompu, Sumbawa hingga ke pulau Lombok sebagai pemangku kebijakan tertinggi daerah mesti seharusnya lebih tegas lagi menangani permasalahan ini.

Padahal sanksi hukum sangat berpengaruh terhadap perkembangan kasus kekerasan seksual, dengan adanya aturan yang tegas dari pemerintah calon pelaku kekerasan seksual lain bisa mempertimbangkan untuk melakukan kekerasan seksual, sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya hal serupa. Sehingga masalah ini mengundang berbagai macam kritikan dari berbagai elemen masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang tidak tegas pada pelaku secara hukum. Kita butuh mengekspos seluruh kasus yang ada, dan masyarakat butuh informasi lebih lanjut mengenai proses hukum yang sedang berjalan.

Amanat menutup dan mensosialisasikan pencegahan sejak awal potensi kekerasan seksual tertera jelas misal salah satunya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 5 Tahun 2019. Tentang penyelengaraan Perlindungan Perempuan dan Anak. Diperjelas lagi dengan pasal 2 huruf A, yang dimaksud dengan “Penghormatan Hak Asasi Manusia” adalah sebagai bentuk dasar dari hak asasi manusia untuk terlepas dari rasa takut, ancaman, dan kekerasan sesuai dengan kebijakan terkait, seperti konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, serta Undang-Undang Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Baca Juga :  Satgas Zeni TNI AD Resmikan Jembatan Eka Paksi

Meskipun ada ungkapan dari LPA untuk mengawal sampai tuntas kasus-kasus tersebut sampai Majelis Hakim menjatuhkan Hukuman seberat-beratnya, akan tetapi upaya tersebut salah satunya misal hanya mampu menghasilkan hukuman berat bagi yang terekspos media massa, yang tidak terekspos mesti harus juga dibuka ke publik hasil-hasilnya. Ini demi menguatkan efek jera dan akhirnya demi tujuan kita bersama memberantas masalah pelecahan seksual pada anak. Sekali lagi banyaknya waktu yang dihabiskan dengan gawai menjadi semacam penyalur aktivitas yang tidak bisa dilakukan saat seperti sebelum pandemi; ini sekaligus menjadi corong terjadinya _missing orientation_ pendidikan moral anak oleh orang tua. Orang lebih merasa bangga anaknya tidak keluar dari rumah dengan gawai, tapi lupa dengan gawai si anak itu pula sang anak keluar ke mana-mana.

Selain dari anak, sisi orang tua dan keluarga lain mesti menjadi pelindung dan penjaga, bukan membiarkan diri menjadi penerkam seksual buas bagi anak atau anggota keluarga. Sesekali mesti ada _family time_ yang di dalamnya ada acara kecil yang di awali suasana cair kekeluargaan dan tiap anggota keluarga menceritakan kegiatan atau kesulitan yang dihadapi selama seharian, jika tak mampu bisa dilakukan di akhir pekan. Di sini, anak mesti diajarkan secara ramah untuk berani terbuka dan orang tua mesti berhasil memasukan kepercayaan justru orang tuanya-lah sebagai teman curahan hati dan berbagi cerita.

Sesekali beri anak waktu untuk beradaptasi pada sistem pola asuh yang kita terapkan di rumah, biarkan dia menyerap sendiri pelajaran yang bisa diambil dan kita bisa sesekali untuk meyakinkan diri bertanya apa saja hal-hal yang bisa ia dapat dari pola pengasuhan yang orang tua berikan.

Terakhir, namun bukan menjadi akhir. Jika kita tidak memulai dari detik sekarang untuk melindungi keluarga yang ada sekarang, akankah orang lain bisa mengambil peran menggantikan melindungi keluarga kita?

Oleh: Afanullah (Mahasiswa Ilmu Perpustakaan, UIN Alauddin Makassar)

 

Bagikan:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *