Mudik dan Transformasi Kemaksiatan
Pulang kampung menjadi suatu tradisi setiap bulan Ramadan, setahun sekali dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya bagi para perantau yang ada di berbagai daerah belahan Nusantara. Mudik semacam rutinitas, dilakukan baik oleh mahasiswa, pekerja kasar seperti buruh, wartawan, pedagang, pegawai, dan pekerja sektor formal lainnya yang mencari kehidupan di kota.
Menjadi momen paling terindah ketika melepas rindu, mengawali Ramadan dengan saling meminta maaf, kemudian melaksanakan puasa bersama keluarga kita tercinta di kampung masing-masing. Bah terasa ibadah puasa di bulan Ramadan tidak terlaksana dengan sempurna, manakala keluarga tidak hadir di sisi. Barangkali demikian itulah, banyak perantau yang pulang kampung (mudik).
Mengutip Muhammad Akbar, Direktur Akar Institute menjelaskan kepada saya bahwa kota adalah pusat ‘kebiadaban’ sementara desa adalah pusat ‘keadaban’.
Tolak ukur orientasi dari apa yang telah dijelaskan oleh tokoh pemuda asal Bima tersebut, maka perlu kiranya kita merefleksi kembali tradisi mudik atau pulang kampung yang biasa kita lakukan di tiap tahunnya itu.
Momentum pulang kampung dalam hemat penulis adalah situasi hegemoni massa yang di dalamnya terdapat dialektika kebudayaan, transformasi pengetahuan, dan doktrin liberalisme. Sebelum melangkah lebih jauh perlu kiranya melihat kondisi keterpengaruhan kehidupan masyarakat perkotaan terhadap pedesaan.
Hukum Dialektika kebudayaan:
Global
|
Nasional
|
Lokal
Kehidupan kota sangatlah jauh dari kata keadaban, kearifan, kebersamaan, gotong royong sebagaimana tradisi masyarakat pedesaan, karena hampir semua orang bergerak berdasarkan hasrat kuasa, ingin di-Tuhan-kan oleh sesama manusia.
Kota menjadi basis liberalisme ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, dan agama
Doktrin liberalisme telah menancapkan cakar-cakarnya di tengah hiruknya kehidupan masyarakat perkotaan.
Bahkan betapa pun dalamnya akhlak dan moral, kita kemudian telah ikut berkiblat pada konstruksi nilai-nilai Barat yang hidup dan masuk menyasar ke dalam jendela-jendela rumah kayu ilalang masyarakat pedesaan, apalagi kepada masyarakat perkotaan. Liberalisme kemudian menyelibak ikut terinternalisasi di tengah kultur rakyat desa, memberangus dan merongrong akhlak juga keimanan manusia sehingga berbagai macam tindak-tanduk masyarakat dengan alasan tadi kemudian banyak mencederai nilai kearifan leluhur dan agama, bahkan kepada kepercayaan lokal yang awalnya kuat dan hidup di pedesaan.
Bagaimana tidak, proses hegemoni tersebut yang dimaksud terlihat dari begitu banyak paha dan dada perempuan yang bisa kita lihat secara gratis setiap hari sejak di sudut masyarakat kota, prostitusi, perdagangan manusia di mana-mana, amat banyak tempat-tempat diskotik yang menjual minuman-minuman keras. Kita telah sulit lagi membedakan paha atau ayam paha dan minuman keras atau sekadar air keran.
Berpakain ala-ala Barat, makan dan minum, pola hidup mewah dengan segalanya adalah didorong oleh seperti apa yang disebut Jacques Lacan ahli psikoanalisis Perancis sebagai “Che Voi” atau “apa yang orang lain inginkan dari saya”. Di balik uang, hiburan, dan daya fantasi yang dikejar oleh masyarakat kota, tak luput juga desa adalah sebenarnya Che Voi itu sendiri. Akhirnya, membuat masyarakat industri dan teknologi sekarang ini saling tidak menyapa dan peduli antar sesama.
Hal demikian, ironisnya berefek terjadinya pembegalan, pencurian, dan pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya karena tidak terpenuhinya atau tidak merasa cukupnya keinginan masyarakat kita di depan hamparan tawaran peradaban industri dan teknologi.
Kehidupan yang luar biasa bebas tersebut cukuplah menakutkan, mengerikan, sebagai mana Sartre menyatakan bahwa manusia satu dengan manusia lain bagaikan serigala yang saling memangsa, memakan dan membunuh kawannya sendiri.
Melihat kehidupan masyarakat perkotaan itu sangat berbanding terbalik (sedkit-banyaknya) dengan kehidupan masyarakat pedesaan yang dipenuhi keadaban, kebudayaan, kearifan, juga gotong royong. Anak-anak muda masih terjaga dari fitnah dan tuduhan. namun di satu sisi masyarakat pedesaan juga masih keterbelakangan ilmu pengetahuan sehingga berdampak fatal ketika melihat apa yang mereka anggap baru dan moderen.
Lagi dan lagi momentum pulang kampung sebentar lagi akan terjadi, di dalamnya pasti akan tercipta dialektika kebudayaan kota yang penuh kebiadaban itu; transformasi pengetahuan yang liberal, akhlaq, dan moral yang tidak baik dipertontonkan kepada masyarakat, atas keterbatasan pengetahuan masyarakat pedesaan maka semua yang datang dari kota itu digarap menjadi suatu impian dan capaian hidup.
Mengapa banyak di desa hari ini yang menyalahgunakan sabu-sabu, minuman keras, dan barang-barang haram lainnya. terjadinya seks bebas, berpakaian rok mini, anak-anak mulai dihadapkan sebebasnya pada gawai cerdas, bahkan karena fantasi modernisme yang tidak berujung itu jamak anak desa memaksa orang tua untuk dibelikan sepeda motor mewah. Ke-Aku-an sebagai basis fantasi anak muda di pedesaan itu akhirnya memunculkan degradasi moral-sosial seperti yang disebutkan di awal.
Senada dengan apa yang dijelaskan oleh para filsuf materialisme, yaitu John Locke sebagai salah satu beliau adalah pelopornya; menganggap bahwa pengetahuan manusia itu lahir dari pengalaman inderawi. Sementara ujung pangkal dari ilmu pengetahuan adalah ideologi yang melembaga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengkontekstualisasikan apa yang disebut oleh Locke ini, masyarakat saat ini sebenarnya terhegemoni oleh tawaran visual yang banyak dipertontonkan di televisi dan media pada umumnya. Masyarakat menjadi lupa identitas kultural, akhirnya berfantasi maya mengejar pengakuan diri di dunia virtual. Nyatanya, tawaran modernisme dan koloninya tersebut tidak berdampak positif secara psikologis, kalaupun berdampak maka kebahagiaan itu hanya bertahan sementara.
Begitupun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dari kota kemudian ke desa. Mereka membawa sejuta pengetahuan baru bagi masyarakat desa dan sudah pasti akan ditiru oleh orang kampung dan melembaga dalam masyarakat.
Masalah demikianlah yang ditakutkan terjadi, sebabnya di masyarakat akan mengalami pergeseran dan pengikisan kebudayaan serta kearifan agama atau sistem nilai, bahkan sendi-sendi terkecil pada kehidupan desa akan tergeser dikhawatirkan menuju arah yang destruktif. Potret tersebut telah membuktikan keterpengaruhan budaya kota ke desa mengubah pola-pola dan sistem nilai kehidupan masyarakat yang ada di desa.
Seharusnya kebudayaan kota yang diharapkan membawa dampak baik itu akan berefek positif, yaitu mampu mengubah tatanan kehidupan yang lebih berkembang dan maju, terciptanya masyarakat sosialis (bukan masyarakat individualis sebagai ciri khas masyarakat kota), melainkan mesti seharusnya menghadirkan perilaku masyarakat madani. Namun sayang, malah justru berbanding terbalik menghancurkan nilai-nilai ke-Indonesiaan dan lokal hanya karena menerima secara pasif tawaran-tawaran budaya Barat yang begitu amat nihil spiritual.
Kalaulah pulang kampung hanya sekadar pulang tanpa membawa misi kesejahteraan masyarakat, misi pembebasan masyarakat, dan misi terwujudnya kejayaan masyarakat, agaknya akan lebih baiknya diam di tempat. Daripada jika membawa pengaruh yang tidak baik pada masyarakat pedesaan, atau sekadar hanya pasif dan malas untuk membuat kegiatan positif atau sosial selama tinggal di desa. Masyarakat sejatinya tidak membutuhkan anggotanya yang pulang kampung numpang swafoto bersama keluarga lalu diposting ke Instagram dan Facebook dengan caption ‘berdoa’ sambi meminta like.
Penulis : Ermen MAPERA (Mahasiswa Tafsir Hadis, Ketua Umum HMBD UIN Alauddin Makassar periode 2018-2019)