Istilah “ngaha aina ngoho” merupakan salah satu motto masyarakat bima yang sampai hari ini telah terkikis dengan arus globalisasi. Arus yang sulit untuk disaring oleh masyarakat dunia secara global, lebih-lebih oleh masyarakat daerah. Pembangunan seakan-seakan mesti meniscayakan pembabatan tanpa pembibitan lahan hijau. Ada semacam perasaan gamang untuk kehilangan momentum upaya pembangunan dan lahan hidup di satu sisi, namun kita lalai kemudian merefleksikan semakin berkurangnya upaya pelestarian lingkungan oleh pemerintah, terlebih masyarakat kita.
Ngaha Aina Ngoho, sebagai falsafah masyarakat Bima yang memiliki makna bahwa hidup mesti memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar kita sesuai kebutuhan, bukan memenuhi semua keinginan kita; boleh makan namun jangan dihabiskan apa-apa yang mesti dilestarikan. Motto yang sengaja diajarkan sejak zaman Naka (zaman tertua di kebudayaan Bima, NTB) oleh leluhur masyarakat Bima agar mampu menghadapi tantangan melestarikan lingkungan. Dan motto tersebut pernah masif dikampanyekan oleh Bupati Bima sekitar tahun 1979, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Bupati pada saat itu masyarakat bima yang hidup dalam tekanan penjajahan masyarakat Bima oleh masyarakat Bima disebut Nipo (tentara Jepang). Masyarakat yang hidup dalam situasi sedang dijajah saat itu cenderung hidup berpindah-pindah di dalam hutan dan membabatnya untuk kepentingan bertani dan berladang, semuanya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Kebiasaan yang sangat merugikan mereka sendiri dan alhasil bencana banjir terus melanda Bima akibat dari pembabatan kawasan hutan secara liar yang dilakukan, sehingga itu disebut sebagai penyakit kronis yang harus diatasi agar mengatasi bencana banjir yang melanda Bima hingga hari ini. Solusi yang dihadirkan dari permasalahan seperti itu dihadirkanlah program “GOGO RANCA” dari pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Yang pada akhirnya motto Ngaha Aina Ngoho dengan program Gogo Ranca-nya mampu menekan angka pembabatan hutan secara liar yang dilakukan oleh masyarakat Bima sehingga mampu menjaga kelestarian lingkungan terlebih terbebas dari bencana banjir yang melanda.
Sayangnya, dewasa ini istilah Ngaha Aina Ngoho kian terkikis dan cenderung lebih mengarah pada Ngoho Aina Ngaha (tamak-lah jangan hanya makan saja; bisa juga sebaliknya), yang menekankan untuk membabat liar hutan dan gunung tanpa memikirkan efek dari pembabatan hutan tersebut. Kondisi seperti itu banyak terjadi dan bahkan untuk seluruh wilayah Bima, tentu hal ini menjadi keprihatinan bagi kita yang melihat kondisi hutan dan gunung dibabat habis-habisan oleh masyarakat. Hal ini tentu terjadi bukan karena sebab kekurangan pangan atau kita sedang dijajah sehingga terpaksa lari dari tentara Jepang kemudian hidup di hutan, akan tetapi ini terjadi akibat dari urusan perut masyarakat yang tidak puas dengan lahan yg ia punya maka dibabatlah hutan dan gunung untuk menambah lahan guna berladang.
Masyarakat Bima tempo dulu, membabat hutan untuk bertahan hidup dari penjajahan Jepang dan masyarakat Bima sekarang cenderung membabat hutan karena kurang puas dengan lahan yang dimiliki tentu ini perbandingan yang sangat jauh berbeda dengan para leluhur.
Masyarakat dan korporasi pembabat hutan saat ini, seperti juga Kalimantan dan Jawa, begitu tidak mementingkan efek dari pembabatan berdalih hanya memikirkan kepuasan perut. Kondisi seperti ini sangat miris untuk kelangsungan hidup masyarakat Indonesia, Bima khususnya jika dibiarkan terus menerus akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup peradaban kita semua.
Sebagai refleksi dan kita ingin benar-benar melihat resolusi, timbul kemudian pertanyaan; bagi pemerintah Kota dan Kabupaten, yaitu Mampukah Bupati dan Walikota Bima (setelah Pilkada yang menghasilkan “pemenang”) mengkampanyekan secara nyata motto Ngaha Aina Ngoho di atas? sehingga kita dapat menciptakan kembali kestabilan dan upaya pelestarian nyata (bukan setengah hati, apalagi menunjukkan semata “kesan” upaya pelestarian) terhadap hutan dan gunung akibat pembabatan liar dan menghindari ancaman banjir yang tiap tahun melanda? Kita sama-sama optimis dan mendukung; Dan kita menunggu.
Penulis:
Junaidinul Islam (Mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan, UIN Alauddin Makassar. Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Sila, Bima Periode 2019-2020)