Autokritik untuk Tenaga Kesehatan dari Perspektif Kaidah Dasar Moral Pelayanan Kesehatan
Penulis: Zainal Abidin, S.Kep. Ners,MH.Kes | Tenaga Kesehatan

Peristiwa yang dialami Arumi menjadi semacam cermin retak bagi profesi kesehatan. Meski banyak dari kita telah bekerja dengan dedikasi, kenyataannya masih terdapat celah dalam penerapan asas hukum, kode etik, dan prinsip moral profesi yang semestinya menjadi pijakan utama dalam setiap pelayanan.
Tidak dapat disangkal bahwa sistem pelayanan kesehatan, terutama pada lini primer seperti Puskesmas, kerap berada dalam tekanan. Kekurangan sumber daya manusia, keterbatasan fasilitas, serta kebijakan yang terus berubah, berimplikasi pada pengambilan tindakan medis yang kerap dilakukan secara cepat. Hal ini berpotensi mengabaikan prinsip kehati-hatian serta komunikasi yang efektif dengan pasien maupun keluarganya.
Di sinilah pentingnya kembali pada prinsip Autonomy, yang menegaskan bahwa setiap pasien, sekecil apa pun, berhak atas perlindungan hak-haknya sebagai individu. Orang tua pun memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, utuh, dan terbuka. Maka dari itu, informed consent tidak boleh dipahami sekadar sebagai formalitas administratif, melainkan sebagai jiwa dari penghormatan terhadap hak pasien.
Kita memahami bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan selalu bertindak dengan niat baik — berupaya menyelamatkan nyawa, menstabilkan kondisi, dan memberikan perawatan secepat mungkin. Namun, dalam prinsip Non-Maleficence terkandung kaidah yang kuat: do no harm — jangan mencederai. Tindakan yang dilandasi niat baik pun, jika dilakukan di luar kompetensi atau tanpa pengawasan yang memadai, bisa berdampak buruk bagi pasien.
Kita sadar bahwa setiap profesi kesehatan memiliki batas kewenangan dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai kompetensi. Ketika sistem kerja gagal menghadirkan dokter saat dibutuhkan, atau ketika pengawasan tidak tersedia, maka kita memasuki wilayah abu-abu yang sangat rawan terhadap kesalahan medis.
Autokritik ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan individu, melainkan mengajak seluruh institusi melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem rujukan, pola supervisi, dan distribusi beban kerja. Kita tidak bisa membiarkan tenaga kesehatan menghadapi situasi sulit sendirian, tanpa dukungan sistem yang memadai — kondisi yang justru berpotensi menyeret mereka ke dalam situasi malpraktik.
Sikap defensif terhadap kritik sering kali menjebak kita dalam narasi “membela institusi” semata. Padahal, asas Perikemanusiaan dan Perlindungan dalam hukum kesehatan tidak membenarkan adanya pembiaran terhadap kesalahan prosedural atau pelanggaran etis, betapapun beratnya tekanan kerja yang dihadapi.
Kini saatnya kita berani memandang kesalahan sebagai pintu pembelajaran, bukan sebagai aib. Kasus Arumi dapat menjadi titik balik yang memotivasi semua pihak untuk memperkuat SOP, meningkatkan pelatihan kompetensi, serta menegakkan etika profesi secara konsisten.
Kita membutuhkan sistem yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mendukung tenaga kesehatan agar dapat bekerja dalam batas aman dan etis. Kita memerlukan budaya yang membuka ruang diskusi terkait insiden medis, tidak hanya saat terjadi krisis, melainkan secara reguler, terbuka, dan berkelanjutan.
Sebagai tenaga kesehatan, kita wajib bekerja dalam jalur kebaikan dan keadilan, sebagaimana diamanatkan dalam prinsip Beneficence dan Justice — baik kepada pasien maupun rekan sejawat. Dalam konteks Arumi, seluruh prinsip dasar moral ini diuji. Maka respons terbaik bukanlah pembelaan semata, melainkan langkah kolektif dan nyata untuk memperbaiki ekosistem pelayanan kesehatan.
Tenaga medis, tenaga kesehatan, manajemen Puskesmas, rumah sakit, hingga otoritas kesehatan daerah — semuanya memiliki peran untuk melakukan introspeksi dan berkontribusi dalam perbaikan. Arumi memang telah menjadi korban, tetapi ia juga dapat menjadi simbol perubahan.
Mari kita jadikan luka ini sebagai alarm yang membangunkan kita. Bukan hanya agar kita menjadi lebih berhati-hati, tetapi juga agar kita menjadi lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang kita lakukan.