Pengangkatan 14.077 PPPK Paruh Waktu, Antara Kesejahteraan dan Risiko Fiskal Daerah

Pemerintah Kabupaten Bima baru saja melakukan langkah besar dengan mengangkat 14.077 tenaga PPPK paruh waktu, setelah sebelumnya juga mengangkat sekitar 2.000 PPPK penuh waktu. Total, dalam waktu singkat, lebih dari 16 ribu pegawai baru resmi masuk dalam sistem pemerintahan.

Secara sosial, langkah ini patut diapresiasi. Ribuan tenaga honorer yang selama ini mengabdi tanpa kepastian kini memperoleh status yang lebih jelas. Ada rasa keadilan, ada peningkatan kesejahteraan, dan ada harapan pelayanan publik akan semakin baik. Stabilitas sosial dan politik daerah juga relatif terjaga karena pemerintah menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil.

Namun di balik kabar baik itu, ada tantangan besar yang harus dipahami bersama: mampukah APBD Kabupaten Bima menanggung beban keuangan yang sangat besar ini?

 

Beban Anggaran yang Membengkak

Dengan asumsi honor rata-rata Rp 2 juta per bulan bagi PPPK paruh waktu, dan Rp 4 juta untuk PPPK penuh waktu, maka tambahan beban fiskal mencapai Rp 433,8 miliar per tahun.

Jika APBD Kabupaten Bima sekitar Rp 2,2 triliun, maka:

Sebelum pengangkatan, belanja pegawai ± 50% APBD (Rp 1,1 triliun).

Setelah pengangkatan, belanja pegawai melonjak menjadi ± 70% APBD (Rp 1,534 triliun).

Artinya, ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan UMKM, hingga sektor strategis seperti pertanian dan pariwisata, akan menyusut drastis menjadi hanya 30% APBD.

 

Dampak Positif

  1. Kepastian kerja bagi ribuan tenaga honorer, mengurangi keresahan sosial.
  2. Peningkatan daya beli masyarakat karena lebih banyak rumah tangga memiliki pendapatan tetap.
  3. Peluang peningkatan pelayanan publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.

Risiko dan Konsekuensi

  1. APBD menjadi kaku, karena sebagian besar terserap untuk gaji pegawai.
  2. Belanja pembangunan tertekan, masyarakat bisa kecewa karena infrastruktur dan layanan publik non-rutin kurang diperhatikan.
  3. Risiko defisit tinggi, apalagi jika transfer pusat berkurang atau PAD stagnan.
  4. Ketergantungan ke pusat meningkat, karena PAD Bima relatif kecil untuk menopang beban sebesar ini.

Pengangkatan ribuan PPPK adalah keputusan politik sekaligus sosial yang sudah diambil. Karena itu, sekarang yang terpenting adalah bagaimana mengelola konsekuensinya.

sehingga perlu dilakukan upaya medistribusi formasi yang tepat: pastikan PPPK benar-benar ditempatkan sesuai kebutuhan riil, bukan sekadar menambah beban administrasi.

Lobi anggaran ke pusat: perjuangkan tambahan DAU khusus untuk menutup beban pegawai ini.

Optimalisasi PAD: garam, pariwisata, UMKM, dan perikanan harus jadi prioritas agar pendapatan daerah tumbuh.

Efisiensi belanja non-esensial: kurangi perjalanan dinas, acara seremonial, dan biaya konsumtif birokrasi.

Kontrak kinerja PPPK: meski paruh waktu, produktivitas harus nyata agar masyarakat benar-benar merasakan manfaat.

Kita semua tentu sepakat, pengangkatan PPPK adalah langkah mulia demi kesejahteraan masyarakat. Namun, tanpa manajemen fiskal yang ketat, keputusan ini bisa berubah menjadi “jebakan fiskal” yang justru mengorbankan pembangunan jangka panjang.

Pemda Bima perlu menjelaskan secara terbuka strategi pengelolaan keuangan daerah pasca kebijakan besar ini, agar publik tidak hanya menikmati kabar gembira pengangkatan PPPK, tetapi juga memahami konsekuensi serta langkah antisipasi yang dilakukan pemerintah.

Bagikan:
Scroll to Top